Tuesday, August 23, 2011

Diet Baru Model Sampoerna

Bagi sejumlah anak perusahaan PT HM Sampoerna, rencana sang induk untuk melepas kepemilikan sahamnya di sejumlah anak perusahaannya ternyata bukanlah berita baru. Seorang direksi di salah satu anak perusahaan Sampoerna mengatakan bahwa rencana itu sudah mencuat tatkala 40% saham PT HM Sampoerna diakuisisi PT Philip Morris Indonesia (PMI) pada awal tahun 2005. Ketika kepemilikan PMI di Sampoerna meningkat hingga 98%, akhir tahun lalu, rencana yang awalnya hanya berupa rumor itu akhirnya benar-benar menjadi kenyataan. 

Sang direktur yang merasa hakulyakin perusahaannya juga termasuk akan dilepas itu mengaku tak habis pikir terhadap rencana pemilik Sampoerna tersebut. “Secara kalkulasi bisnis, rencana PT Philip Morris Indonesia ini memang agak sulit dimengerti,� ujar sang direktur dengan nada kecewa. Namun apa daya, lantaran hanya berstatus sebagai profesional, ia mengaku tak bisa melakukan apa pun kecuali menuruti keinginan sang induk. Jika tak ada halangan, rencana itu akan diresmikan pada RUPS yang akan digelar pada 27 Januari besok. “Paling lambat, pada bulan Maret sudah ada keputusannya,� ujar sang sumber.

Saat ini, ada sekitar 31 perusahaan yang bernaung di bawah PT HM Sampoerna. Menurut data Bursa Efek Surabaya, 18 di antaranya masih terkait dengan bisnis inti. Sisanya merupakan perusahaan yang bergerak di berbagai sektor, mulai dari jasa perdagangan, teknologi informasi, investasi, properti, makanan dan minuman olahan, percetakan, hingga transportasi. Nah, perusahaan-perusahaan inilah yang “terancam dicoretâ€� dari portofolio Sampoerna. Boleh jadi, rencana pelepasan sejumlah anak Sampoerna itu dikarenakan kinerjanya tidak terlalu bersinar. 

Salah satunya yakni PT Taman Dayu, perusahaan properti di Malang, Jawa Timur. Sejak berdiri pada tahun 1990, developer yang membangun kompleks perumahan mewah seluas 598 hektare itu hingga pertengahan tahun lalu boleh dibilang masih merugi. Itu sebabnya pada 7 April 2005, perusahaan ini menggandeng PT Ciputra Surya (anak perusahaan Ciputra Group) untuk mengelola lahan seluas 400 hektare dari kompleks tersebut dengan sistem bagi hasil. Namun, direksi PMI tampaknya sudah “gerahâ€� melihat performance perusahaan ini. Makanya, bukan tak mungkin, Taman Dayu termasuk anak perusahaan yang bakal dilepas. 

Begitu pula dengan anak perusahaan Sampoerna di sektor pengolahan makanan dan minuman. Usaha yang dikelola oleh PT Sampoerna Food Product Nusantara ini akhirnya dihentikan. Perusahaannya pun berganti nama menjadi PT Citra Investasi Nusa dengan menekuni usaha di sektor perdagangan dan jasa. Tragisnya, operasional perusahaan ini pun akhirnya harus berhenti di tengah jalan. Selain Citra Investasi, anak perusahaan Sampoerna lainnya yang juga terpaksa berhenti adalah PT Wahana Sampoerna yang bergerak di sektor konstruksi. 

Sebenarnya, tidak semua kinerja anak perusahaan Sampoerna “ngos-ngosanâ€�. PT Sumber Alfaria Trijaya (SAT), contohnya. Perusahaan yang mengelola jaringan minimarket bermerek Alfamart ini nyatanya mampu memberikan kontribusi yang cukup lumayan buat sang induk. Kendati enggan mengungkap total omzet yang diraup Alfamart, Ignatius Didiet Setiadi, Manajer Humas PT SAT, menegaskan bahwa jaringan minimarket ini membukukan pendapatan yang lumayan besar setiap tahunnya. “Kontribusi kami menduduki peringkat ketiga setelah pabrik rokok dan distribusi,â€� ujar Didiet. 

Pada usianya yang ke-26 tahun, saat ini total jaringan toko Alfamart telah mencapai 1.250 gerai. Dari total gerai sebanyak itu, sekitar 70% dikelola langsung oleh SAT. Sisanya dimiliki oleh masyarakat dengan sistem waralaba. Bahkan, berdasarkan hasil survei AC Nielsen tahun 2005, dari total 5.000 minimarket di Indonesia, Alfamart mampu menguasai pangsa pasar sebesar 33%. Penguasaan pangsa pasar sebesar itu mendudukkan Alfamart pada posisi nomor dua setelah Indomaret milik Grup Salim yang menguasai market share sebesar 35%. 

Didiet bahkan berani menjamin, hingga beberapa tahun ke depan, pertumbuhan bisnis minimarket ini masih menggiurkan. Ia merujuk data Apkrindo (Asosiasi Praktisi Konsultan Ritel Indonesia), yang menyebutkan bahwa pertumbuhan omzet minimarket sepanjang 2005 mencapai 35%. “Sektor bisnis mana yang pertumbuhan omzetnya tahun ini bisa mencapai angka itu. Bahkan, dibanding hipermarket dan supermarket, pertumbuhan omzet minimarket jauh lebih tinggi,â€� ujar Didiet. 

Jadi, jangan heran bila dalam tiga tahun--sejak berdiri pada tahun 1989--minimarket ini sudah mampu balik modal. Bahkan, sebelum keputusan menjual Alfamart dicetuskan, manajemen HM Sampoerna sudah setuju untuk membangun sejumlah pusat distribusi dan sales point di berbagai daerah. Sekadar gambaran, pusat distribusi ini nantinya bertugas memasok kebutuhan sekitar 500 minimarket Alfamart yang tersebar di sejumlah daerah. Dan, dalam waktu dekat, yang sudah siap berdiri adalah pusat distribusi di Semarang untuk wilayah Jawa Tengah. 

Selain pusat distribusi, Alfamart juga akan membangun sales point (setingkat di bawah pusat distribusi) yang akan menaungi sekitar 100 toko. “Kami sudah berencana membangun sales point di Purwokerto, Cilegon, dan Malang,â€� ungkap Didiet. 

Oh ya, harap dicatat, sekitar 70% saham Alfamart ini dikuasai oleh PT HM Sampoerna. Sisanya dikuasai PT Sigmantara Alfindo milik Djoko Susanto, yang juga merupakan mantan Direktur PT HM Sampoerna. Selain Alfamart, HM Sampoerna juga memiliki sekitar 23% saham di PT Alfa Retailindo yang mengelola hipermarket Alfa. 

Nah, kendati kinerja kedua perusahaan tadi lumayan kinclong, nyatanya hal itu tak mampu menggoyahkan tekad petinggi HM Sampoerna untuk melepas kepemilikannya. Padahal, menurut Didiet, selain mengandalkan jaringan distribusi Panamas, Sampoerna sebenarnya juga dapat mengandalkan jaringan Alfamart. Betul, produk yang dijual Alfamart tak hanya rokok semata. Namun, dengan ribuan gerainya, Sampoerna bisa menggunakan minimarket ini sebagai jalur distribusi dan alat promosi yang andal. Sayangnya, “Mereka sudah mengumumkan ke BEJ untuk melepas Alfamart,â€� tegas Didiet. 

Selain Alfamart, melalui Panamas, HM Sampoerna juga memiliki anak perusahaan PT Agasam, yang mengelola sejumlah restoran/kafe dan toko merchandise dengan label ‘It’s A Store’. Saat ini, toko yang berdiri sejak tahun 2003 itu sudah memiliki 8 cabang yang tersebar di Jakarta dan Surabaya. Berbagai pernak-pernik merchandise seperti kaus, topi, asbak, dompet, tas (semuanya berlogo huruf A) ada di sini. Menurut Gitardo Hardoyo, General Manager ‘It’s A Store’, untuk membangun satu toko ini dibutuhkan biaya investasi sebesar Rp 500 juta. Dengan penghasilan satu toko minimal Rp 200 juta per bulan, ia optimistis tahun ini seluruh toko tersebut sudah balik modal. 

Gitardo menambahkan, kendati kontribusi buat induk perusahaan sangat kecil, outlet ini sangat menguntungkan. “Kalau tidak, ngapain kami membuka outlet sebanyak itu,â€� ucapnya. Lantas, perihal rencana penjualan perusahaan ini oleh sang induk, Gitardo hanya berkomentar singkat. “Saya akan menuruti perintah atasan. Tapi , untuk sementara ini petunjuk dari atasan adalah tetap menjalankan bisnis,â€� tuturnya. 
Selain di bidang perdagangan, HM Sampoerna juga memiliki berbagai perusahaan investasi di berbagai negara, antara lain Bursa Tobacco Corporation, Sampoerna Investment Corporation, Vinasa Investment Corporation, dan Sampoerna Latin America yang seluruhnya berpusat di British Virgin Islands. 

Lantas, akankah semua itu akan dilepas PT HM Sampoerna? Kita tunggu saja kepastiannya akhir bulan ini.

No comments:

Post a Comment